A.
Lahirnya
Filsafat Modern
Filsafat adalah
ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam
dengan menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Asal filsafat ada tiga, yakni
keheranan, kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan.
Sesungguhnya
pemikiran filsafat banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Perkembangan filsafat
terdiri dari berbagai zaman yang merupakan usaha untuk menghidupkan kembali
kebudayaan klasik (Yunani – Romawi). Pada zaman modern ini manusia dianggap
sebagai titik fokus dari kenyataan.
Tidak mudah
menentukan batas yang jelas mengenai akhir zaman pertengahan dan awal yang
pasti dari zaman modern. Hal ini disebabkan perbedaan pandangan para ahli
sejarah tentang peralihan zaman pertengahan ke zaman modern. Sebagian ahli
sejarah berpendapat bahwa zaman pertengahan berakhir ketika Konstantinopel
ditaklukkan oleh Turki Usmani pada tahun 1453 M. Peristiwa tersebut dianggap
sebagai akhir zaman pertengahan dan titik awal zaman modern.
Ada juga yang
berpendapat bahwa penemuan benua Amerika oleh Columbus pada tahun 1492
M., menandai awal zaman modern. Para ahli yang lain cenderung menganggap era
gerakan reformasi keagamaan yang dimotori oleh Martin Luther pada tahun 1517
M., sebagai akhir zaman pertengahan.
Namun mayoritas
ahli sejarah mengatakan bahwa akhir abad ke 14 sekaligus menjadi akhir zaman
pertengahan yang ditandai oleh suatu gerakan yang disebut renaissance pada abad
ke 15 dan 16. Dengan demikian abad ke 17 menjadi bagian awal dari zaman
filsafat modern[1].
B.
Aliran-Aliran Pokok Dalam Filsafat Modern
Dalam era filsafat modern, yang kemudian dilanjutkan dengan era
filsafat abad ke-20, muncullah berbagai aliran pemikiran, diantaranya:
1.
Rasionalisme
Rene Descartes
(1596-1650) yang mendirikan aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber
pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh
lewat akal-lah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan
ilmiah. Dengan akal dapat diperoleh kebenaran dengan metode deduktif, seperti
yang dicontohkan dalam ilmu pasti.
Latar belakang
munculnya rasionalisme adalah keinginan untuk membebaskan diri dari segala
pemikiran tradisional (skolastik), yang pernah diterima, tetapi ternyata tidak
mampu menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi.
Descartes
menginginkan cara yang baru dalam berpikir, maka diperlukan titik tolak
pemikiran yang pasti yang dapat ditemukan dalam keragu-raguan, Cogito
ergo sum (saya ragu-ragu berarti saya berpikir, dan oleh karena itu saya ada).
Jelasnya, bertolak dari keraguan untuk mendapat kepastian[2].
Selain
Descartes, rasionalisme abad 17 memiliki beberapa tokoh sentral seperti Spinoza
(1632-1677), Lebnis (1648-1716). Kebanyakan para filosof rasionalis tetap
mempertahankan eksistensi Tuhan, walaupun tetap terjadi pemisahan radikal
antara alam dengan Tuhan.
Contoh ilmu
ukur (geometri) adalah salah satu contoh favorit kaum rasionalis. Mereka
berdalih bahwa aksioma dasar geometri seperti, “sebuah garis lurus merupakan
jarak yang terdekat antara dua titik”, adalah idea yang jelas dan tegas yang
baru kemudian dapat diketahui oleh manusia. Dari aksioma dasar itu dapat
dideduksikan sebuah sistem yang terdiri dari subaksioma-subaksioma. Hasilnya
adalah sebuah jaringan pernyataan yang formal dan konsisten yang secara logis
tersusun dalam batas-batas yang telah digariskan oleh suatu aksioma dasar yang
sudah pasti[3].
2.
Empirisme
Sebagai tokohnya adalah Thomas Hobbes, John Locke, dan David Hume.
Oleh karena adanya
kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasakan manfaatnya, pandangan orang terhadap
filsafat mulai merosot.
Hal ini terjadi
karena filsafat dianggap tidak berguna lagi bagi kehidupan. Pada sisi lain,
ilmu pengetahuan besar sekali manfaatnya bagi kehidupan. Kemudian beranggapan
bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewat
indera, dan inderalah satu-satunya sumber pengetahuan. Pemikiran tersebut lahir
dengan nama empirisme.
Empirisme
berasal dari kata empeira yang berarti kepercayaan terhadap pengalaman. Jadi
empirisme merupakan pandangan atau sikap yang menekankan pada peranan pengalaman
dalam mencari pengetahuan.
3.
Kritisisme
Filsafat kritisisme
disebut juga filsafat zaman pencerahan (Aufklarung), muncul abad ke-18
dimana lahirnya filsafat kritisme ini dilatarbelakangi pertentangan antara
rasionalisme dengan empirisme.
Dan seorang
ahli pikir Jerman Immanuel Kant (1724-1804) mencoba menyelesaikan persoalan ini
dengan sebuah analisa. Pada awalnya Kant mengikuti rasionalisme, tetapi
kemudian terpengaruh oleh empirisme.
Akhirnya, Kant
mengakui peranan akal dan keharusan empiri, kemudian dicobanya mengadakan
sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal (rasionalisme), tetapi
adanya pengertian timbul dari benda (empirisme). Ibarat burung terbang harus
mempunyai sayap (rasio) dan udara (empiri)[4].
C.
Pengaruh
Filsafat Dalam Pengembangan Pendidikan
Setiap anak yang dilahirkan pada hakikatnya sudah mempunyai potensi
masing-masing, atau kodrat alam (menurut istilah Ki Hajar Dewantara). Disadari
atau tidak, sejak kecil kita sudah menerima pendidikan dari orang tua tentang
banyak hal. Orang tua kita adalah guru pertama kali dalam hidup hingga kita
menjadi seorang yang dewasa. Seiring berjalannya waktu, tidak hanya lingkungan
keluarga saja yang kita tahu, kita mengenal lingkungan masyarakat, bahkan
lingkungan negara. Sehingga kita tahu betapa pentingnya proses pendidikan bagi
manusia di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, agama dan bangsa.
Berbicara tentang pendidikan, maka membahas perkembangan peradaban
manusia. Perkembangan pendidikan manusia akan berpengaruh terhadap dinamika
sosial-budaya masyarakatnya. Sejalan dengan itu, pendidikan akan terus
mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan kebudayaan. Banyak pendapat
para tokoh pendidikan yang kemudian berdampak terhadap peradaban manusia.
Dengan demikian, pendidikan menyandang misi keseluruhan aspek
kebutuhan hidup dan sejalan dengan dinamika serta perubahan-perubahan yang
terjadi. Sebagai akibat logisnya, maka pendidikan senantiasa mengandung
pemikiran dan kajian baik secara konseptual dan operasionalnya, sehingga
diperoleh relevansi dan kemampuan menjawab tantangan serta memecahkan masalah-masalah
yang dihadapi oleh umat manusia.
Dengan menganalisa berbagai filsafat, seperti filsafat yunani,
barat dan lainnya, maka muncullah berbagai macam disiplin ilmu dengan
menggunakan filsafat. Sehingga berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan yang
berkembang sekarang ini menemukan kembali relevansinya dan berkemampuan untuk
menjawab persoalan-persoalan yang dihadapai umat manusia.
Pendekatan filsafat diperlukan seiring dengan perkembangan
pendidikan. Karena problematika pendidikan yang bersifat filosofis memerlukan
jawaban yang filosofis pula. Di samping itu filsafat pendidikan bisa didekati
dengan ide-ide filosofis yang diterapkan untuk memecahkan masalah pendidikan.
Salah satu contoh masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita
adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, anak
kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di
kelas diarahkan untuk menghafal informasi, otak anak dipaksa untuk mengingat
dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk menghubungkannya dengan
kehidupan sehari-hari. Akibatnya? Ketika anak didik lulus dari sekolah, mereka
pintar secara teoritis, akan tetapi miskin aplikasi.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan
usaha sadar yang dilakukan diseluruh aspek kehidupan, baik orang-orang terdekat
maupun masyarakat, baik yang formal maupun nonformal, dengan tujuan merubah kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik
menjadi kebiasaan yang baik demi terbentuknya pribadi manusia yang baik dan
berkualitas selama manusia tersebut menjalani kehidupannya.
Jadi, untuk memahami arti pendidikan yang seutuhnya harus ada
keseimbangan antara pendidikan formal dan nonformal. Karena pendidikan formal
sangat penting dalam membentuk sikap pada diri manusia. Namun, pendidikan
nonformal sering dinomorduakan dibanding pendidikan formal. Oleh karena itu,
banyak persoalan-persoalan muncul di lingkungan sekitar, yang terkadang muncul
dari orang yang berpendidikan tinggi, namun tidak mempunyai sikap yang baik.
Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan
(Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah
pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi
pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih
kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan
tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.
[1] Mahmutd Hamdiy Zaqzutq, Diratsatt fi
al-Falsafat al-Haditsah (Cet. II, Kairo: Dar al-Tibat‘at al-Muhammadiyyah,
1988), hlm. 16
[2] Asmoro Achmadi,
op. cit., hlm. 111-112
[3] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam
perspektif (Cet. XVI, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm.
100-101.
[4] Asmoro Achmadi,
op. cit., hlm. 115
Tidak ada komentar:
Posting Komentar