Sabtu, 03 Agustus 2013

FILSAFAT-FILSAFAT MODERN DAN PEMBAHASAN PENDIDIKAN


A.    Lahirnya Filsafat Modern
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Asal filsafat ada tiga, yakni keheranan, kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan.
Sesungguhnya pemikiran filsafat banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Perkembangan filsafat terdiri dari berbagai zaman yang merupakan usaha untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik (Yunani – Romawi). Pada zaman modern ini manusia dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan.
Tidak mudah menentukan batas yang jelas mengenai akhir zaman pertengahan dan awal yang pasti dari zaman modern. Hal ini disebabkan perbedaan pandangan para ahli sejarah tentang peralihan zaman pertengahan ke zaman modern. Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa zaman pertengahan berakhir ketika Konstantinopel ditaklukkan oleh Turki Usmani pada tahun 1453 M. Peristiwa tersebut dianggap sebagai akhir zaman pertengahan dan titik awal zaman modern.
Ada juga yang berpendapat bahwa  penemuan benua Amerika oleh Columbus pada tahun 1492 M., menandai awal zaman modern. Para ahli yang lain cenderung menganggap era gerakan reformasi keagamaan yang dimotori oleh Martin Luther pada tahun 1517 M., sebagai akhir zaman pertengahan.
Namun mayoritas ahli sejarah mengatakan bahwa akhir abad ke 14 sekaligus menjadi akhir zaman pertengahan yang ditandai oleh suatu gerakan yang disebut renaissance pada abad ke 15 dan 16. Dengan demikian abad ke 17 menjadi bagian awal dari zaman filsafat modern[1].

B.     Aliran-Aliran Pokok Dalam Filsafat Modern
Dalam era filsafat modern, yang kemudian dilanjutkan dengan era filsafat abad ke-20, muncullah berbagai aliran pemikiran, diantaranya:
1.      Rasionalisme
Rene Descartes (1596-1650) yang mendirikan aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh lewat akal-lah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Dengan akal dapat diperoleh kebenaran dengan metode deduktif, seperti yang dicontohkan dalam ilmu pasti.
Latar belakang munculnya rasionalisme adalah keinginan untuk membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional (skolastik), yang pernah diterima, tetapi ternyata tidak mampu menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi.
Descartes menginginkan cara yang baru dalam berpikir, maka diperlukan titik tolak pemikiran yang pasti yang dapat ditemukan dalam keragu-raguan, Cogito ergo sum (saya ragu-ragu berarti saya berpikir, dan oleh karena itu saya ada). Jelasnya, bertolak dari keraguan untuk mendapat kepastian[2].
Selain Descartes, rasionalisme abad 17 memiliki beberapa tokoh sentral seperti Spinoza (1632-1677), Lebnis (1648-1716). Kebanyakan para filosof rasionalis tetap mempertahankan eksistensi Tuhan, walaupun tetap terjadi pemisahan radikal antara alam dengan Tuhan.
Contoh ilmu ukur (geometri) adalah salah satu contoh favorit kaum rasionalis. Mereka berdalih bahwa aksioma dasar geometri seperti, “sebuah garis lurus merupakan jarak yang terdekat antara dua titik”, adalah idea yang jelas dan tegas yang baru kemudian dapat diketahui oleh manusia. Dari aksioma dasar itu dapat dideduksikan sebuah sistem yang terdiri dari subaksioma-subaksioma. Hasilnya adalah sebuah jaringan pernyataan yang formal dan konsisten yang secara logis tersusun dalam batas-batas yang telah digariskan oleh suatu aksioma dasar yang sudah pasti[3].
2.      Empirisme
Sebagai tokohnya adalah Thomas Hobbes, John Locke, dan David Hume. Oleh karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasakan manfaatnya, pandangan orang terhadap filsafat mulai merosot.
Hal ini terjadi karena filsafat dianggap tidak berguna lagi bagi kehidupan. Pada sisi lain, ilmu pengetahuan besar sekali manfaatnya bagi kehidupan. Kemudian beranggapan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewat indera, dan inderalah satu-satunya sumber pengetahuan. Pemikiran tersebut lahir dengan nama empirisme.
Empirisme berasal dari kata empeira yang berarti kepercayaan terhadap pengalaman. Jadi empirisme merupakan pandangan atau sikap yang menekankan pada peranan pengalaman dalam mencari pengetahuan.
3.      Kritisisme
Filsafat kritisisme disebut juga filsafat zaman pencerahan (Aufklarung), muncul abad ke-18 dimana lahirnya filsafat kritisme ini dilatarbelakangi pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme.
Dan seorang ahli pikir Jerman Immanuel Kant (1724-1804) mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan sebuah analisa. Pada awalnya Kant mengikuti rasionalisme, tetapi kemudian terpengaruh oleh empirisme.
Akhirnya, Kant mengakui peranan akal dan keharusan empiri, kemudian dicobanya mengadakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal (rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari benda (empirisme). Ibarat burung terbang harus mempunyai sayap (rasio) dan udara (empiri)[4].

C.    Pengaruh Filsafat Dalam Pengembangan Pendidikan
Setiap anak yang dilahirkan pada hakikatnya sudah mempunyai potensi masing-masing, atau kodrat alam (menurut istilah Ki Hajar Dewantara). Disadari atau tidak, sejak kecil kita sudah menerima pendidikan dari orang tua tentang banyak hal. Orang tua kita adalah guru pertama kali dalam hidup hingga kita menjadi seorang yang dewasa. Seiring berjalannya waktu, tidak hanya lingkungan keluarga saja yang kita tahu, kita mengenal lingkungan masyarakat, bahkan lingkungan negara. Sehingga kita tahu betapa pentingnya proses pendidikan bagi manusia di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, agama dan bangsa.
Berbicara tentang pendidikan, maka membahas perkembangan peradaban manusia. Perkembangan pendidikan manusia akan berpengaruh terhadap dinamika sosial-budaya masyarakatnya. Sejalan dengan itu, pendidikan akan terus mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan kebudayaan. Banyak pendapat para tokoh  pendidikan yang kemudian berdampak terhadap peradaban manusia.
Dengan demikian, pendidikan menyandang misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup dan sejalan dengan dinamika serta perubahan-perubahan yang terjadi. Sebagai akibat logisnya, maka pendidikan senantiasa mengandung pemikiran dan kajian baik secara konseptual dan operasionalnya, sehingga diperoleh relevansi dan kemampuan menjawab tantangan serta memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia.
Dengan menganalisa berbagai filsafat, seperti filsafat yunani, barat dan lainnya, maka muncullah berbagai macam disiplin ilmu dengan menggunakan filsafat. Sehingga berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan yang berkembang sekarang ini menemukan kembali relevansinya dan berkemampuan untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapai umat manusia.
Pendekatan filsafat diperlukan seiring dengan perkembangan pendidikan. Karena problematika pendidikan yang bersifat filosofis memerlukan jawaban yang filosofis pula. Di samping itu filsafat pendidikan bisa didekati dengan ide-ide filosofis yang diterapkan untuk memecahkan masalah pendidikan.
Salah satu contoh masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di kelas diarahkan untuk menghafal informasi, otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya? Ketika anak didik lulus dari sekolah, mereka pintar secara teoritis, akan tetapi miskin aplikasi.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan diseluruh aspek kehidupan, baik orang-orang terdekat maupun masyarakat, baik yang formal maupun nonformal, dengan tujuan  merubah kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik menjadi kebiasaan yang baik demi terbentuknya pribadi manusia yang baik dan berkualitas selama manusia tersebut menjalani kehidupannya.
Jadi, untuk memahami arti pendidikan yang seutuhnya harus ada keseimbangan antara pendidikan formal dan nonformal. Karena pendidikan formal sangat penting dalam membentuk sikap pada diri manusia. Namun, pendidikan nonformal sering dinomorduakan dibanding pendidikan formal. Oleh karena itu, banyak persoalan-persoalan muncul di lingkungan sekitar, yang terkadang muncul dari orang yang berpendidikan tinggi, namun tidak mempunyai sikap yang baik.
Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan (Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.



[1] Mahmutd Hamdiy Zaqzutq, Diratsatt fi al-Falsafat al-Haditsah (Cet. II, Kairo: Dar al-Tibat‘at al-Muhammadiyyah, 1988), hlm. 16
[2] Asmoro Achmadi, op. cit., hlm. 111-112
[3] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam perspektif (Cet. XVI, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm. 100-101.
[4] Asmoro Achmadi, op. cit., hlm. 115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar