1. Pengertian dan Hukum Wudhu’
Wudhu’ secara bahasa yaitu indah dan
bersinar. Seperti wajah bersinar (wadhi’) yang wajahnya berbinar. Sedangkan
secara syari’at, wudhu’ adalah menyucikan sesuatu dengan menggunakan air pada
anggota tertentu dengan cara tertentu. Seorang muslim diwajibkan berwudhu setiap akan
melaksanakan shalat.
Allah Swt. Berfirman:
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ
ءَامَنُوآ إِذَاقُمْتُمْ إِلَى الّصَلاَةِ فَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ
وَاَيْدِيْكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ
إِلَى الْكَعْبَيْنِ ....(المائدة : 6)
"Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki… "(Al-Maa’idah : 6)
Ayat yang mulia ini menjelaskan tentang kewajiban
berwudhu sebelum shalat. Juga menjelaskan anggota tubuh yang harus dibersihkan
atau diusap dalam berwudhu. Juga membatasi anggota berwudhu itu. Kemudian, Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan sifat wudhu dengan perkatan dan
perbuatan, dengan penjelasan yang sangat cukup. Rasulullah Saw. juga bersabda:
لَايُقْبَلُ اللهُ الصَّلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى
يَتَوَضَّأَ
“Allah
tidak akan menerima shalat seorang diantara kalian jika ia berada dalam keadaan
hadats hingga ia berwudhu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Fukaha Mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’I, dan Hambali
sepakat bahwa wudhu diwajibkan pula untuk thawaf di Baitullah. Sebab,
thawaf termasuk ibadah yang dengannya seseorang bertaqarrub kepada Allah dan
merupakan salah satu rukun haji dan umrah, sebagamana disepakati ulama. Dasar hukum yang mewajibkannya
adalah sabda Rasulullah yang artinya:
“Thawaf itu seperti salat.
Hanya saja Allah Swt. menghalalkan berbicara dala thawaf. Karena itu, orang
yang hendak berbicara (ketika thawaf), janganlah berbicara kecuali berbicara
kebaikan”. (HR. at-Tirmizi, Daruqutni, al-Hakim, Ibnu as-Sakan, dan Ibnu Khuzaimah)
Kemudian mereka wajibkan
juga berwudhu ketika memegang mushaf Al-Qur’an. Hal ini diriwayatkan oleh
Abdullah bin Umar, Al-Hasan, Atha’, dan Thawus. Ini adalah pendapat Imam Malik,
Asy-Syafi’I, Abu Hanifah, Ahmad, dan mayoritas fuqaha.
Jumhur ulama berdalil dengan
firman Allah Swt. :
لَّايَمَسُّهُ وآ
إلَّاالْمُطَهَّرُوْنَ (الواقعة : 79)
“Tidak
menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (Al-Waqi’ah : 79)
Wudhu itu hukumnya sunnah
ketika berzikir kepada Allah, berdoa kepada Allah (beristigfar), saat hendak
tidur, pada saat mandi, pada saat makan/minum/akan tidur bagi orang yang sedang
junub, saat akan mengusung mayit, saat sedang marah, kala akan azan dan iqamat,
saat wuquf diarafah dan saat melakukan sa’I antara Shafa dan Marwah.
Ketahuilah wahai kaum muslimin bahwasannya wudhu
itu memiliki beberapa syarat, yaitu:
1.
Islam
2.
Berakal
3.
Tamyiz (dewasa)
4.
Niat, maksudnya tidak sah shalat bagi yang tidak berniat wudhu, seperti
berniat hanya karena ingin mendinginkan badan atau membersihkan anggota-anggota
badannya guna menghilangkan najis atau kotoran darinya.[1]
5.
Harus menggunakan air yang mutlak (suci mensucikan)
6.
Harus menggunakan air yang halal (bukan hasil dari mencuri)
7.
Menghilangkan apa-apa yang menghalangi sampainya air ke kulit.
·
Fardhu (rukun) wudhu yang disepakati:
Seperti yang telah disebutkan dalam surat
Al-Maidah : 6 diatas, bahwasannya wudhu itu memiliki fardhu-fardhu yang
disepakati, yang secara ringkas bisa disebutkan adalah membasuh muka, membasuh
kedua tangan hingga siku, menyapu kepala, dan membasuh kedua kaki hingga
matakaki.
1.
Membasuh Muka
Wajah itu adalah antara tempat tumbuhnya rambut
hingga bagian bawah dagu dari sisi panjangnya dan antara kedua daun telinga. Dan
membasuh itu artinya mengalirkan air ke bagian anggota tubuh, sehingga bisa
dibedakan antara yang disebut dengan mencuci dan mengusap.
Kemudian, apakah berkumur dan menghirup air ke
hidung termasuk dalam membasuh muka ?
Menurut sebagian ulama Hambali, bahwa itu termasuk
dari membasuh muka. Mereka beragumen bahwa kalangan sahabat yang menyifati
wudhu Nabi tidak pernah menyebutkan bahwa dia pernah meninggalkan kumur-kumur
dan menghirup air. Dengan demikian, maka ia menunjukkan wajib.
Menurut Asy-Syafi’I, Maliki, dan Abu Hanifah,
bahwa perbuatan tersebut tidak termasuk dari membasuh muka, melainkan hanya
sunnah atau anjuran yang sangat.
2.
Membasuh Kedua Tangan Hingga Siku
Ada perbedaan pendapat tentang membasuh kedua
tangan sampai siku, yakni apakah kedua siku itu termasuk wajib dibasuh atau
tidak ?
Perbedaan ini berdasarkan pada perbedaan bahasa
dan tata bahasa, yakni perbedaan kata “ilaa” apakah dia menunjukkan pada
batas akhir atau mengandung makna bersama-sama. Sebenarnya kata tersebut
mengandung kedua makna itu.
Menurut ulama Hanafi, Asy-Syafi’I, kata “ilaa”
itu mengandung arti ghayat (batas akhir) yang masuk didalamnya arti ma’a
(bersama-sama). Ini bisa dibuktikan oleh apa yang dilakukan oleh Rasulullah
Saw. Dalam hadits Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abi Hurairah “Bahwa
Rasulullah berwudhu hingga lengan atasnya”.
Oleh sebab itulah, kita memandang bahwa yang
paling hati-hati bagi seorang muslim adalah hendaknya dia selalu mencuci kedua
tangannya dengan menyertakan kedua sikunya.
3.
Menyapu Bagian Kepala
Yang dimaksud menyapu/mengusap adalah membasahi
dengan air. Dan ini tidak mungkin bisa tercapai kecuali dengan cara
menggerakkan anggota tubuh yang membasuh dengan menempelkan pada yang dibasuh.
Para ulama berbeda pandapat dalam hal kadar
tertentu yang diusap. Apakah itu semua kepala, atau hanya sebagiannya saja?
Jika hanya sebagiannya saja, maka bagaimana batasannya?
Dalam hadits riwayat Abu Dawud dari Anas, “Sesungguhnya
Rasulullah memasukkan tangan kanannya kedalam sorban, kemudian beliau mengusap
kepala bagian depan tanpa melepas sorban.”(HR. Abu Dawud)
Mazhab Hanafi mengatakan tentang wajibnya
mengusap seperempat kepala. Dan Mazhab Asy-Syafi’I mengatakan bahwa “cukuplah
dalam mengusap kepala dengan mengusap beberapa rambut kepala.
4.
Membasuh Kedua Kaki Hingga Matakaki
Yang menjadi pangkal perselisihan yaitu bacaan (wa
arjulakum/wa arjulikum) dalam surat al-Maidah:6 diatas. Bagi yang membaca wa
arjulakum, itu karena diathafkan pada kata wujuhakum dan seterusnya,
sedangkan yang membaca wa arjulikum, itu karena diathafkan pada kata bi
ruusikum.
Sedangkan dalil dari sunnah, tidak didapatkan
satu hadits punyang menunjukkan bahwa
kaki hanya diusap. Sebab semua hadits menjelaskan dengan tegas bahwa
kaki harus dicuci.
Syiah Imamiyah berkata: “Yang wajib atas kaki
itu adalah mengusapnya”, hujjahnya karena beliau membaca wa arjulikum.
As-Syauqani berkata: “Para ulama telah panjang
lebar membahas masalah dua cara baca ini, dalam firman Allah Swt. “wa
arjulakum”. Tidak diragukan bahwa bisa saja dilakukan dengan cara mencuci
ataupun dengan membasuh. Sebab keduanya adalah bacaan yang benar. Namun tak ada
satu riwayat pun yang menyebutkan bahwa Nabi hanya mengusap kedua kakinya.
Sebaliknya, yang ada dalam riwayat yang benar adalah bahwa Nabi selalu mencuci
kedua kakinya.[2]
·
Fardhu (rukun) wudhu yang masih diperdebatkan:
Rukun-rukun wudhu yang diperselisihkan oleh para
imam, yaitu:
1.
Niat
Jumhur fuqaha (Malik, Syafi’I, Ahmad, Ishaq,
Al-Laits, dan lain-lain) berpendapat bahwa itu adalah fardhu dari wudhu.
Dalilnya yaitu sabda Nabi Saw.
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu
berdasarkan pada niatnya” (Muttafaqun ‘Alaih)
Sebagian yang lain berpendapat bahwa niat itu
hanyalah syarat dalam shalat, tapi tidak dalam wudhu, karena wudhu itu hanya
sarana pengantar bagi ibadah yang dimaksud atau yang difardhukan Allah, yakni
shalat.
2.
Tertib
Mazhab Syafi’I dan mazhab yang mashur dari Ahmad
mengatakan bahwa tertib urutan dalam mencuci keempat anggota wudhu tadi adalah
fardhu dari wudhu. Dalilnya yaitu: mereka melihat sifat wudhu Rsulullah yang
selalu melakuan wudhu secara tertib walaupun dalam kondisi beragam.
Sebagian yang lain (Al-Baqhawi, Abu Hanifah, Abu
Dawud) berpendapat bahwa itu bukan fardhu wudhu. Dalilnya ialah: karena dalam
ayat wudhu itu, ada athaf dengan huruf “waw” yang tidak menunjukkan pada adanya
keharusan untuk urutan (tertib).
3.
Berturut-turut
Maksudnya adalah hendaknya seorang yang berwudhu
tidak menyela dalam waktu yang lama saat membasuh atau mencuci dan mengusap
anggota wudhu dengan yang lain.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Umar dengan
sanad mauquf padanya, “Sesungguhnya dia berkata pada orang yang melakukan itu:
Ulangi wudhumu.” Dan dalam riwayat lain disebutkan “Cucilah apa yang kau tinggalkan.”
Riwayat yang pertama menunjukkan pada sunnah,
sedangkan riwayat kedua menunjukkan pada kebolehan. Dan mereka berpendapat dari
kedua riwayat diatas bahwa berturut-turut itu tidaklah wajib.
·
Sunnah-sunnah wudhu dan anjuran-anjurannya
1.
Membaca basmalah pada awalnya
2.
Niat
3.
Tertib
4.
Berturut-turut
5.
Menggosok-gosok
6.
Berkumur-kumur
7.
Menghirup air
8.
Mengusap semua kepala
9.
Mengusap kedua telinga
10. Membasuh tangan hingga pergelangan pada saat
akan memulai wudhu
11. Menyela-nyela jenggot yang lebat
12. Menyela-nyela jari-jemari tangan dan kaki
13. Mencuci apa yang ada diatas kedua siku dan kedua
matakaki
14. Memulai dari bagian kanan
15. Mencuci wajah, tangan, dan kaki sebanyak tiga
kali-tiga kali
16. Irit dalam menggunakan air dan jangan sampai
melakukan pemborosan, namun jangan sampai terlalu kikir
17. Membaca doa setelah selesai wudhu
·
Yang bukan bagian wudhu
1.
Melafazhkan niat
2.
Mengusap leher
3.
Doa orang-orang awam ketika wudhu
4.
Mencuci lebih dari tiga kali
5.
Mengelap anggota wudhu setelah wudhu
2.
Hal-hal yang membatalkan wudhu
·
Yang telah disepakati, yaitu:
a.
Kencing dan buang air besar
b.
Madzi dan wadi
c.
Keluarnya angin dari anus
d.
Tidur berat
e.
Hilangnya akal karena gila atau pingsan dan semisalnya.
·
Yang masih diperselisihkan, yaitu:
a.
Menyentuh perempuan
Menurut mazhab Imam Syafi’I, menyentuh perempuan
itu membatalkan wudhu dalam kondisi apapun. Dan Ibnu Mas’ud mengartikan kata
menyentuh itu dengan mencium (berciuman), dan dapat membatalkan wudhu.
Menurut Abu Hanifah dan sahabatnya, menyentuh
perempuan itu sama sekali tidak membatalkan wudhu dalam kondisi apapun.
Dalilnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah dia
berkata: Saya kehilangan Rasulullah pada saat berada ditempat tidur. Lalu saya
mencarinya. Lalu tangan saya menyentuh bagian dalam kakinya saat dia berada
didalam masjid. Kedua kakinya itu berdiri.
Menurut Imam Maliki, menyentuh itu membatalkan
wudhu jika dibarengi dengan syahwat, namun jika tidak maka ia tidak
membatalkannya. Dari ketiga pendapat tersebut yang paling masyhur adalah
pendapat Imam Malik.
b.
Memegang kemaluan
Ada 3 pendapat tentang hal ini, yaitu:
Pertama, sama sekali tidak batal. Pendapat ini
menurut Abu Hanifah dan sahabatnya. Mereka berkata: oleh karena ia adalah
bagian dar tubuh manusia, maka wudhu tidak batal karena menyentuhnya
sebagaimana anggota tubuh lainnya.
Kedua, membatalkan wudhu dalam kondisi apapun.
Pendapat ini menurut mazhab Ahmad dan Syafi’i. Dalilnya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Busrah binti Shafwan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Barang
siapa yang memegang kemaluannya hendaklah ia berwudhu.” Umumnya para Imam
menyatakan hadits ini shahih.
Ketiga, membatalkan wudhu jika memegang kemaluan
sendiri. Pendapat ini menurut Dawud Azh-Zhahiri. Tapi pendapat ini dibantah,
karena menurut hadits diatas, jika menyentuh kemaluannya sendiri dapat
membatalkan wudhu, tentunya memegang kemaluan orang lain jauh lebih
membatalkan.
c.
Makan daging unta
Menurut Imam Ahmad, hal ini membatalkan wudhu. Hujjah
pendapat ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya dari
Jabir bin Samurh bahwa seorang lelaki bertanya pada Rasulullah, “Apakah saya
harus berwudhu karena makn daging kambing? Rasulullah bersabda: “jika kamu
mau, maka wudhulah, jika tidak, tidak apa-apa engkau tidak berwudhu”. Orang
itu bertanya kembali, “Apakah saya harus berwudhu setelah makan daging unta?
Rasulullah bersabda: “ya, hendaknya kamu berwudhu setelah makan daging
unta”. (HR. Muslim)
Menurut Umar bin Abdul Aziz, membatalkan wudhu
jika memakan sesuatu yang disentuh api, maksudnya makan daging yang dimasak. Hujjahnya
yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah
dan Aisyah: “Wudhulah kalian karena sesuatu yang disentuh api”.
Menurut jumhur ulama, tidak wajib wudhu jika
makan sesuatu baik yang disentuh api maupun yang tidak disentuh api, baik
daging unta maupun daging selain unta.
Hal yang membedakan daging unta dengan daging
yang lain itu adalah bahwa daging unta lebih bau dan sangat berlemak dan berat.
Rasulullah telah melarang seseorang tidur sedangkan ditangan atau dimulutnya
ada lemak khawatir ada serangga yang berbahaya. Seperti kalajengking, dan yang
semisal dengannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar