1.
Pengertian
Rasmil Qur’an
Rasm berasal dari
kata rasama, yarsamu,rasman, yang berarti menggambar atau melukis.
Kata rasm ini juga biasa diartikan sebagai sesuatu yang resmi atau
menurut aturan. Jadi Rasmil Qur’an berarti tulisan atau penulisan
Al-Qur’an yang mempunyai metode-metode tertentu.
·
Sejarah
Perkembangan Rasm Qur’an
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antar satu dengan yang
lainnya. Mereka mencatat wahyu Al-Qur’an tanpa pola penulisan standar, karena
umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan
diwariskan kepada generasi sesudahnya.
Ali Al-Shobuni membagi kedalam dua masa tentang pengumpulan dan
penulisan al-qur’an, yaitu masa rasulullah SAW, dan masa khulafaurrasyidin.
Telah diketahui bahwa pengumpulan al-qur’an pada masa Rasulullah
SAW, dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1)
Pengumpulan dalam dada dengan cara menghafal, dan
2)
Pengumpulan dalam wujud tulisan, yaitu menulis dan mengukirnya.
Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi adalah penyusunan surah dan ayat
secara sistematis, namun belum terkumpul dalam satu mushaf melainkan dalam
keadaan terpisah pisah.
Dalam proses penulisan di zaman Rasulullah SAW. Yang menulis
Al-Quran yaitu Abu bakar, Umar, Usman, Ali, Abban Bin Said, Khalid Bin
Walid, dan Muawiyah Bin Abi Sofyan. Setiap kali menerima wahyu Rasulullah SAW,
memanggil para sekretarisnya untuk menulis wahyu yang baru diterimanya. Wahyu
yang ditulisnya, satu naskah disimpan Nabi SAW, dan lainnya untuk penulis.
Di zaman khalifah Abu Bakar, Allah SWT menggerakkan kaum muslimin
terhadap kebaikan ini pada waktu perang yamamah karena banyaknya para qura’
yang terbunuh, maka Umar Bin Khattab dengan segera pergi ketempat Abu Bakar
yang saat itu menjabat sebagai khalifah. Karena Umar khawatir meninggalnya para
qura’ di tempat-tempat lain sebagaimana perang yamamah, sehingga kaum muslimin
kehilangan pedoman agama Islam dan sulit akan memperolehnya kitab mereka.
Umar mendiskusikan kepada Abu Bakar tentang rencana pengumpulan
al-qur’an, setelah umar menguraikan sebab-sebab yang melatar belakanginya, Abu
Bakar diam mempertimbangkanya. Kemudian Abu Bakar dan Umar mengutus zaid Bin
Tsabit, salah seorang penulis wahyu dizaman Rasulullah. Maka datanglah Zaid Bin
Tsabit ke majlis Abu Bakar dan Umar, mendengarkan mereka berdua tentang
Al-Qur’an, lalu zaid menyetujuinya. Dan ketika Abu Bakar mendapati tanggapan
positif dari Zaid, beliau berkata: “Sesungguhnya kamu pemuda cerdas, dulu kamu
telah menulis wahyu untuk Rasulullah, maka telitilah al-qur’an dan
kumpulkanlah”.
Terus meneruslah Zaid meneliti Al-Quran dengan mengumpulkan dan
menuliskannya dan Zaid sendiri orang yang hafal Al-Qur’an, sehingga hafalannya
itu sedikit mengurangi bebannya namun demikian zaid tidaklah mencukupkan dengan
hafalannya dalam menetapkan ayat yang terdapat perselsihan kecuali dengan
saksi.
Begitu pula dalam melaksanakan amanah menulis Al-Qur’an tidak
mengandalkan hanya hafalannya saja atau melalui pendengaranya saja akan tetapi
bertitik tolak dari pada penyelidikan yang mendalam dari dua sumber, yakni: 1)
sumber hafalan yang tersimpan dalam dada hati para sahabat, dan 2) sumber
tulisan yang ditulis pada zaman Rasulullah SAW.
Disini berarti, hafalan dan tulisan harus terpenuhi seperti
itulah bentuk kehati-hatian Zaid Bin Tsabit dalam menulis Al-Qur’an. Setelah
selesai Al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis kemudian diserahkan kepada Abu Bakar,
dan beliau menyimpan baik-baik hingga wafatnya. Sepeninggal Abu Bakar, ia
digantikan oleh Umar Bin Khattab yang kemudian disimpannya naskah itu. Dan
setelah wafatnya Umar Bin Khattab, Naskah itu kembali diserahkan kepada Sitti
Hafsah.
Di zaman khalifah Usman ketika mendengar laporan Hudzaifah tentang
terjadi perpecahan dikalangan kaum muslimin tentang perbedaan qira’ah Al-Qur’an
yang mengarah kepada saling pengklaiman tentang kafir mengkafirkan. Setelah
mendengar laporan Hudzaifah tersebut, sahabat Usman ra, segera meminta mushaf
yang disimpan di rumah Hafsah, lalu menugaskan Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin
Zubair, Said Ibnu Al-Ash dan Abdurrahman Ibn Hisyam untuk menyalinnya dalam
beberapa mushaf. Kata Utsman, ‘jika kalian bertiga dan Zaid Bin Tsabit
berselisih pendapat tentang hal Al-Qur’an, maka tulislah dengan ucapan atau
lisan quraish karena al-quran diturunkan dengan lisan quraish”.
Dalam kerja penyalinan Al-Qur’an ini mereka mengikuti ketentuan-ketentuan
yang disetujui oleh khalifah Usman. Ketentuan itu adalah bahwa mereka menyalin
ayat berdasarkan riwayat mutawatir, mengabaikan ayat-ayat mansukh yang tidak
diyakini dibaca kembali di masa hidup Nabi SAW, tulisannya secara maksimal
mampu mengakomodasik qira’at yang berbeda-beda, dan menghilangkan semua tulisan
sahabat yang tidak termasuk ayat Al-Quran. Para penulis dan para sahabat
setuju dengan tulisan yang mereka gunakan ini.
Para ulama menyebut cara penulisan ini sebagai Rasm
Al-Mushaf. Karena cara penulisan disetujui Usman sehingga sering pula
dibangsakan kepada Usman, sehingga mereka menyebutnya Rasm Usman atau Rasm
Usmani.
Namun demikian, pengertian rasm ini terbatas pada tulisan
mushaf oleh tim empat di zaman Usman, karena khawatir akan beredarnya dan
menimbulkan perselisihan dikalangan ummat islam. Hal ini nanti membuka peluang
bagi ulama kemudian untuk berbeda pendapat tentang kewajiban mengikuti rasm
Usmani. Tulisan inilah yang tersebar di dunia Islam dewasa ini.
2.
Pendapat Ulama Tentang Rasmil Qur’an
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai status hukum rasmul
Al-Qur’an (Rasmul Usmani) ini,
diantaranya:
·
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasmul Usmani bersifat tauqifi
yang wajib dipakai dalam penulisan Al-Qur’an, mereka merujuk pada perkataan Abdul
Aziz ad-Dabbag, beliau mengatakan pada anaknya bahwa, “Para sahabat dan
orang lain tidak campur tangan seujung rambut pun dalam penulisan Al-Qur’an
karena penulisan Qur’an adalah tauqifi, ketentuan dari Nabi, Dialah yang
memerintahkan kepada mereka untuk menuliskannya dalam bentuk yang dikenal
sekarang, dengan menambahkan alif atau menguranginya karena ada rahasia-rahasia
yang tidak dapat terjangkau oleh akal. Itulah salah satu rahasia Allah yang
diberikan kepada kitab-kitab samawi lainnya. Sebagaimana susunan Qur’an adalah
mukjizat, maka penulisannya pun mukjizat pula.”
·
Banyak ulama berpendapat bahwa rasmul Usmani bukan tauqifi dari
nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui Usman dan
diterima umat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib
dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar. Dan Imam Ahmad berpendapat:
“Haram hukumnya menyalahi tulisan Mushaf Usmani”.
·
Segolongan orang berpendapat bahwa rasm Usmani itu hanyalah sebuah istilah,
tata cara, dan tidak ada salahnya jika menggunakan rasm imla’i (kaidah
pengejaan).
Dari ketiga pendapat diatas, kami dapat menarik kesimpulan bahwa
menjaga keotentikan Al-Qur’an tetap merujuk kepada penulisan mushaf Usmani.
Akan tetapi segi pemahaman membaca Al-Qur’an bisa mengunakan penulisan yang
lain berdasarkan tulisan yang diketahui ummat Islam.
Namun tidak lepas dari subtansi tulisan mushaf Usmani. Sebab
berdasarkan sejarah dalam proses penulisan Al-Qur’an mulai dari zaman
Rasulullah, zaman khalifah Abu Bakar sampai khalifah Usman Bin Affan yang
penulisnya tidak pernah lepas dari Zaid Bin Tsabit yang merupakan sekertaris
Rasulullah SAW. Secara historis ini membuktikan bahwa Allah SWT tetap menjaga
dan memelihara keotentikan Al-Qur’an.
3.
Rasmul Usmani dan Rasmul Imla’i
·
Rasmul Usmani
Zaid bin Sabit bersama tiga orang Quraisy telah menempuh suatu
metode khusus dalam penulisan Al-Qur’an yang disetujui oleh Usman. Para ulama
menamakan metode tersebut dengan ar-Rasmul ‘Usmani lil Mushaf, yaitu dengan
dinisbahkan kepada Usman.
Jadi, Rasmul Usmani
adalah pola penulisan Al-Qur’an pada masa Usman dan disetujui oleh Usman. Musahaf Usmani
juga ditulis menurut kaidah-kaidah tulisan tertentu yang berbeda dengan kaidah
tulisan Imla’i.
Rasm Usmani mempunyai beberapa kaidah-kaidah antara lain :
a)
Kaidah buang (Al_Hadzf)
b)
Kaidah panambahan (Al-Ziyadah)
c)
Kaidah hamzah (Al-Hamzah)
d)
Kaidah penggantian (Al-Badal)
e)
Kaidah sambung dan pisah (Washl Wa A-Fashl).
v Perbaikan Rasmul Usmani
Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca titik
dan syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab
yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan
pemberian titik.
Ketika bahasa arab mulai mengalami kerusakan
karena banyaknya percampuran (dengan bahasa non arab), maka para penguasa
merasa pentingnya ada perbaikan Mushaf syakal, titik dan lain-lain yang dapat
membantu pembacaan yang benar.
Banyak ulama yang berpendapat bahwa orang
pertama yang melakukan hal itu adalah Abu Aswad ad-Du’ali, peletak pertama
dasar-dasar kaidah bahasa arab, atas permintaan Ali bin Abi Talib.
Perbaikan rasm Mushaf itu berjalan
secara bertahap. Pada awalnya syakal berupa titik: fathah berupa satu titik
diatas awal huruf, tanda kasrah berupa satu titik dibawah awal huruf, tanda
dhammah berupa satu titik diatas akhir huruf, dan tanda sukun berupa dua titik.
Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat
yang berasal dari huruf, dan itulah yang dilakukan oleh al-Khalil. Perubahan
itu ialah fathah adalah dengan tanda sempang diatas huruf, kasrah berupa tanda
sempang dibawah huruf, dhammah dengan wawu kecil diatas huruf dan tanwin dengan
tambahan tanda serupa.
Perhatian untuk menyempurnakan rasm
Mushaf, kini telah mencapai puncaknya dalam bentuk tulisan Arab (al-khattul
‘arabiy).
·
Rasmul Imla’i
Rasmul
Imla’i adalah
penulisan menurut kelaziman pengucapan / pertuturan.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an dengan rasm imla’I dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi
orang awam. Bagi para ulama atau yang memahami rasm Usmani tetap
wajib mempertahankan keaslian rasm Usmani.
Pendapat diatas
diperkuat oleh Al-Zarqani dengan mengatakan bahwa rasm Imla’I
diperlukan untuk menghindarkan ummat dari kesalahan membaca Al-Qur’an,
sedangkan rasm Usmani di perlukan untuk memelihara keaslian
mushaf Al-Qur’an.
Tampaknya,
pendapat ini lebih moderat dan lebih sesuai dengan kondisi ummat, disatu pihak
mereka ingin melestarikan rasm Usmani, sementara dipihak lain
mereka menghendaki dilakukannya penulisan Al-Qur’an dengan rasm Imla’I untuk
memberikan kemudahan bagi kaum muslimin yang kemungkinan mendapat kesulitan
membaca Al-Qur’an dengan rasm Usmani.
Namun demikian,
kesepakatan para penulis Al-Qur’an dengan rasm Usmani harus
diindahkan dalam pengertian menjadikannya sebagai rujukan yang keberadaannya
tidak boleh hilang dari masyarakat Islam. Sementara jumlah ummat Islam dewasa
ini cukup besar yang tidak menguasai rasm Usmani. Bahkan, tidak sedikit
jumlah ummat Islam untuk mampu membaca aksara arab. Mereka membutuhkan tulisan
lain untuk membantu mereka agar dapat membaca ayat-ayat Al-Qur’an, seperti
tulisan latin. Namun demikian Rasm Usmani harus dipelihara
sebagai standar rujukan ketika dibutuhkan.
Demikian juga
tulisan ayat-ayat Al-Qur’an dalam karya ilmiah, rasm Usmani
mutlak diharuskan karena statusnya sudah masuk dalam kategori rujukan dan
penulisannya tidak mempunyai alasan untuk mengabaikannya.
Dari sini kita
dapat memahami bahwa menjaga keotentikan Al-Qur’an tetap merujuk kepada
penulisan mushaf Usmani.Akan tetapi segi pemahaman membaca Al-Qur’an bisa
mengunakan penulisan yang lain berdasarkan tulisan yang dalam proses penulisan
Al-Qur’an mulai dari Zaman Rasulullah, zaman khalifah Abu Bakar sampai khalifah
Usman Bin Affan yang penulisnya tidak pernah lepas dari Zaid Bin Tsabit
yang merupakan sekretaris Rasulullah SAW. Secara historis ini membuktikan bahwa
Allah SWT tetap menjaga dan memelihara keotentikan Al-Qur’an.
Izin share y mbak..
BalasHapusiya, silakan. Terimakasih sudah mengunjungi blog saya
Hapus