Minggu, 15 Januari 2012

ILMU RASMIL QUR'AN

1.      Pengertian Rasmil Qur’an
Rasm berasal dari kata rasama, yarsamu,rasman, yang berarti menggambar atau   melukis. Kata rasm ini juga biasa diartikan sebagai sesuatu yang resmi atau menurut aturan. Jadi Rasmil Qur’an berarti tulisan atau penulisan Al-Qur’an yang mempunyai metode-metode tertentu.
·         Sejarah Perkembangan Rasm Qur’an
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antar satu dengan yang lainnya. Mereka mencatat wahyu Al-Qur’an tanpa pola penulisan standar, karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya.
Ali Al-Shobuni membagi kedalam dua masa tentang pengumpulan dan penulisan al-qur’an, yaitu masa rasulullah SAW, dan masa khulafaurrasyidin.
Telah diketahui bahwa pengumpulan al-qur’an pada masa Rasulullah SAW, dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1)      Pengumpulan dalam dada dengan cara menghafal, dan
2)      Pengumpulan dalam wujud tulisan, yaitu menulis dan mengukirnya.
Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi adalah penyusunan surah dan ayat secara sistematis, namun belum terkumpul dalam satu mushaf melainkan dalam keadaan terpisah pisah.
Dalam proses penulisan di zaman Rasulullah SAW. Yang menulis Al-Quran  yaitu Abu bakar, Umar, Usman, Ali, Abban Bin Said, Khalid Bin Walid, dan Muawiyah Bin Abi Sofyan. Setiap kali menerima wahyu Rasulullah SAW, memanggil para sekretarisnya untuk menulis wahyu yang baru diterimanya. Wahyu yang ditulisnya, satu naskah disimpan Nabi SAW, dan lainnya untuk penulis.
Di zaman khalifah Abu Bakar, Allah SWT menggerakkan kaum muslimin terhadap kebaikan ini pada waktu perang yamamah karena banyaknya para qura’ yang terbunuh, maka Umar Bin Khattab dengan segera pergi ketempat Abu Bakar yang saat itu menjabat sebagai khalifah. Karena Umar khawatir meninggalnya para qura’ di tempat-tempat lain sebagaimana perang yamamah, sehingga kaum muslimin kehilangan pedoman agama Islam dan sulit akan memperolehnya kitab mereka.


Umar mendiskusikan kepada Abu Bakar tentang rencana pengumpulan al-qur’an, setelah umar menguraikan sebab-sebab yang melatar belakanginya, Abu Bakar diam mempertimbangkanya. Kemudian Abu Bakar dan Umar mengutus zaid Bin Tsabit, salah seorang penulis wahyu dizaman Rasulullah. Maka datanglah Zaid Bin Tsabit ke majlis Abu Bakar dan Umar, mendengarkan mereka berdua tentang Al-Qur’an, lalu zaid menyetujuinya. Dan ketika Abu Bakar mendapati tanggapan positif dari Zaid, beliau berkata: “Sesungguhnya kamu pemuda cerdas, dulu kamu telah menulis wahyu untuk Rasulullah, maka telitilah al-qur’an dan kumpulkanlah”.
Terus meneruslah Zaid meneliti Al-Quran dengan mengumpulkan dan menuliskannya dan Zaid sendiri orang yang hafal Al-Qur’an, sehingga hafalannya itu sedikit mengurangi bebannya namun demikian zaid tidaklah mencukupkan dengan hafalannya dalam menetapkan ayat yang terdapat perselsihan kecuali dengan saksi.
Begitu pula dalam melaksanakan amanah menulis Al-Qur’an tidak mengandalkan hanya hafalannya saja atau melalui pendengaranya saja akan tetapi bertitik tolak dari pada penyelidikan yang mendalam dari dua sumber, yakni: 1) sumber hafalan  yang tersimpan dalam dada hati para sahabat, dan 2) sumber tulisan yang ditulis pada zaman Rasulullah SAW.
Disini berarti, hafalan  dan tulisan harus terpenuhi seperti itulah bentuk kehati-hatian Zaid Bin Tsabit dalam menulis Al-Qur’an. Setelah selesai Al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis kemudian diserahkan kepada Abu Bakar, dan beliau menyimpan baik-baik hingga wafatnya. Sepeninggal Abu Bakar, ia digantikan oleh Umar Bin Khattab yang kemudian disimpannya naskah itu. Dan setelah wafatnya Umar Bin Khattab, Naskah itu kembali diserahkan kepada Sitti Hafsah.
Di zaman khalifah Usman ketika mendengar laporan Hudzaifah tentang terjadi perpecahan dikalangan kaum muslimin tentang perbedaan qira’ah Al-Qur’an yang mengarah kepada saling pengklaiman tentang kafir mengkafirkan. Setelah mendengar laporan Hudzaifah tersebut, sahabat Usman ra, segera meminta mushaf yang disimpan di rumah Hafsah, lalu menugaskan Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Said Ibnu Al-Ash dan Abdurrahman Ibn Hisyam untuk menyalinnya dalam beberapa mushaf. Kata Utsman, ‘jika kalian bertiga dan Zaid Bin Tsabit berselisih pendapat tentang hal Al-Qur’an, maka tulislah dengan ucapan atau lisan quraish karena al-quran diturunkan dengan lisan quraish”.
Dalam kerja penyalinan Al-Qur’an ini mereka mengikuti ketentuan-ketentuan yang disetujui oleh khalifah Usman. Ketentuan itu adalah bahwa mereka menyalin ayat berdasarkan riwayat mutawatir, mengabaikan ayat-ayat mansukh yang tidak diyakini dibaca kembali di masa hidup Nabi SAW, tulisannya secara maksimal mampu mengakomodasik qira’at yang berbeda-beda, dan menghilangkan semua tulisan sahabat yang tidak termasuk ayat Al-Quran. Para penulis  dan para sahabat setuju dengan tulisan yang mereka gunakan ini.


Para ulama menyebut cara penulisan ini sebagai Rasm  Al-Mushaf. Karena cara penulisan disetujui Usman sehingga sering pula dibangsakan kepada Usman, sehingga mereka menyebutnya Rasm Usman atau Rasm Usmani.
Namun demikian, pengertian rasm ini terbatas pada tulisan mushaf oleh tim empat di zaman Usman, karena khawatir akan beredarnya dan menimbulkan perselisihan dikalangan ummat islam. Hal ini nanti membuka peluang bagi ulama kemudian untuk berbeda pendapat tentang kewajiban mengikuti rasm Usmani. Tulisan inilah yang tersebar di dunia Islam dewasa ini.

2.      Pendapat Ulama Tentang Rasmil Qur’an
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai status hukum rasmul Al-Qur’an (Rasmul Usmani)  ini, diantaranya:
·         Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasmul Usmani bersifat tauqifi yang wajib dipakai dalam penulisan Al-Qur’an, mereka merujuk pada perkataan Abdul Aziz ad-Dabbag, beliau mengatakan pada anaknya bahwa, “Para sahabat dan orang lain tidak campur tangan seujung rambut pun dalam penulisan Al-Qur’an karena penulisan Qur’an adalah tauqifi, ketentuan dari Nabi, Dialah yang memerintahkan kepada mereka untuk menuliskannya dalam bentuk yang dikenal sekarang, dengan menambahkan alif atau menguranginya karena ada rahasia-rahasia yang tidak dapat terjangkau oleh akal. Itulah salah satu rahasia Allah yang diberikan kepada kitab-kitab samawi lainnya. Sebagaimana susunan Qur’an adalah mukjizat, maka penulisannya pun mukjizat pula.”
·         Banyak ulama berpendapat bahwa rasmul Usmani bukan tauqifi dari nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui Usman dan diterima umat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar. Dan Imam Ahmad berpendapat: “Haram hukumnya menyalahi tulisan Mushaf Usmani”.
·         Segolongan orang berpendapat bahwa rasm Usmani itu hanyalah sebuah istilah, tata cara, dan tidak ada salahnya jika menggunakan rasm imla’i (kaidah pengejaan).
Dari ketiga pendapat diatas, kami dapat menarik kesimpulan bahwa menjaga keotentikan Al-Qur’an tetap merujuk kepada penulisan mushaf Usmani. Akan tetapi segi pemahaman membaca Al-Qur’an bisa mengunakan penulisan yang lain berdasarkan tulisan yang diketahui ummat Islam.
Namun tidak lepas dari subtansi tulisan mushaf Usmani. Sebab berdasarkan sejarah dalam proses penulisan Al-Qur’an mulai dari zaman Rasulullah, zaman khalifah Abu Bakar sampai khalifah Usman Bin Affan yang penulisnya tidak pernah lepas dari Zaid Bin Tsabit yang merupakan sekertaris Rasulullah SAW. Secara historis ini membuktikan bahwa Allah SWT tetap menjaga dan memelihara keotentikan Al-Qur’an.    

3.      Rasmul Usmani dan Rasmul Imla’i

·         Rasmul Usmani
Zaid bin Sabit bersama tiga orang Quraisy telah menempuh suatu metode khusus dalam penulisan Al-Qur’an yang disetujui oleh Usman. Para ulama menamakan metode tersebut dengan ar-Rasmul ‘Usmani lil Mushaf, yaitu dengan dinisbahkan kepada Usman.
 Jadi, Rasmul Usmani adalah pola penulisan Al-Qur’an pada masa Usman dan disetujui oleh Usman. Musahaf Usmani juga ditulis menurut kaidah-kaidah tulisan tertentu yang berbeda dengan kaidah tulisan Imla’i.
Rasm Usmani mempunyai beberapa  kaidah-kaidah antara lain :
a)      Kaidah buang (Al_Hadzf)
b)      Kaidah panambahan (Al-Ziyadah)
c)      Kaidah hamzah (Al-Hamzah)
d)     Kaidah penggantian (Al-Badal)
e)      Kaidah sambung dan pisah (Washl Wa A-Fashl).

v  Perbaikan Rasmul Usmani

Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian titik.
Ketika bahasa arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya percampuran (dengan bahasa non arab), maka para penguasa merasa pentingnya ada perbaikan Mushaf syakal, titik dan lain-lain yang dapat membantu pembacaan yang benar.
Banyak ulama yang berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal itu adalah Abu Aswad ad-Du’ali, peletak pertama dasar-dasar kaidah bahasa arab, atas permintaan Ali bin Abi Talib.
Perbaikan rasm Mushaf itu berjalan secara bertahap. Pada awalnya syakal berupa titik: fathah berupa satu titik diatas awal huruf, tanda kasrah berupa satu titik dibawah awal huruf, tanda dhammah berupa satu titik diatas akhir huruf, dan tanda sukun berupa dua titik.
Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf, dan itulah yang dilakukan oleh al-Khalil. Perubahan itu ialah fathah adalah dengan tanda sempang diatas huruf, kasrah berupa tanda sempang dibawah huruf, dhammah dengan wawu kecil diatas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda serupa.
Perhatian untuk menyempurnakan rasm Mushaf, kini telah mencapai puncaknya dalam bentuk tulisan Arab (al-khattul ‘arabiy).




·         Rasmul Imla’i

Rasmul Imla’i adalah penulisan menurut kelaziman pengucapan / pertuturan.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an dengan rasm imla’I  dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para ulama atau yang memahami rasm Usmani tetap wajib mempertahankan keaslian rasm Usmani.
Pendapat diatas diperkuat oleh Al-Zarqani dengan mengatakan bahwa rasm Imla’I diperlukan untuk menghindarkan ummat dari kesalahan membaca Al-Qur’an, sedangkan rasm Usmani di perlukan untuk memelihara keaslian mushaf Al-Qur’an.
Tampaknya, pendapat ini lebih moderat dan lebih sesuai dengan kondisi ummat, disatu pihak mereka ingin melestarikan rasm Usmani, sementara dipihak lain mereka menghendaki dilakukannya penulisan Al-Qur’an dengan rasm Imla’I untuk memberikan kemudahan bagi kaum muslimin yang kemungkinan mendapat kesulitan membaca  Al-Qur’an dengan rasm Usmani.
Namun demikian, kesepakatan para penulis Al-Qur’an dengan rasm Usmani harus diindahkan dalam pengertian menjadikannya sebagai rujukan yang keberadaannya tidak boleh hilang dari masyarakat Islam. Sementara jumlah ummat Islam dewasa ini cukup besar yang tidak menguasai rasm Usmani. Bahkan, tidak sedikit jumlah ummat Islam untuk mampu membaca aksara arab. Mereka membutuhkan tulisan lain untuk membantu mereka agar dapat membaca ayat-ayat Al-Qur’an, seperti tulisan latin. Namun demikian Rasm Usmani harus dipelihara sebagai  standar rujukan ketika dibutuhkan.
Demikian juga tulisan ayat-ayat Al-Qur’an dalam karya ilmiah, rasm Usmani mutlak diharuskan karena statusnya sudah masuk dalam kategori rujukan dan penulisannya tidak mempunyai alasan untuk mengabaikannya.
Dari sini kita dapat memahami bahwa menjaga keotentikan Al-Qur’an tetap merujuk kepada penulisan mushaf Usmani.Akan tetapi segi pemahaman membaca Al-Qur’an bisa mengunakan penulisan yang lain berdasarkan tulisan yang dalam proses penulisan Al-Qur’an mulai dari Zaman Rasulullah, zaman khalifah Abu Bakar sampai khalifah Usman Bin Affan yang penulisnya tidak pernah lepas dari Zaid Bin Tsabit yang merupakan sekretaris Rasulullah SAW. Secara historis ini membuktikan bahwa Allah SWT tetap menjaga dan memelihara keotentikan Al-Qur’an.

2 komentar: